Infobrita.com|Mamuju- Kasus dugaan perampasan lahan dan perusakan hutan lindung di wilayah Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, kini semakin terbuka.
Berdasarkan hasil penelusuran Lembaga Pengawal Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-K.P.K) Provinsi Sulbar, Eliasib- ditemukan bahwa aktivitas korporasi raksasa PT Pasangkayu, yang merupakan anak perusahaan dari Astra Agro Lestari (AAL), telah menyentuh banyak aspek pelanggaran hukum, bahkan melampaui batas kemanusiaan.
Ketua Komda LP-K.P.K Sulbar, Eliasib, menyebut bahwa kerusakan ekologis dan penderitaan rakyat adalah dua sisi luka besar yang selama ini ditutupi rapat oleh kekuatan uang dan kekuasaan, Minggu 19/10/2025.

“Tiga dekade lamanya tanah rakyat dirampas, hutan diluluhlantakkan, dan sungai dikotori. Rakyat hanya bisa menangis di tengah hutan yang kini bukan miliknya lagi,” ujar Eliasib kepada PengawalKebijakan.id, dengan suara bergetar namun penuh amarah.
Rakyat Terpinggirkan, Alam Dijarah
Dari hasil investigasi LP-K.P.K, masyarakat yang dahulu hidup bergantung pada hutan dan sungai kini kehilangan akses terhadap sumber penghidupan. Mereka tidak hanya kehilangan tanah, tetapi juga kehilangan identitas dan martabat sebagai pemilik sah tanah adat dan tanah negara yang dirampas.
“Bayangkan, tiga puluh tahun perusahaan ini beroperasi di atas lahan negara dan hutan lindung. Mereka bebas menggunakan alat berat, menanam sawit di tepi sungai, bahkan melakukan replanting tanpa izin perpanjangan,” ungkap Eliasib.
Sekitar 100 kepala keluarga atau hampir 300 jiwa, kini hidup tanpa kepastian. Mereka tidak lagi bisa menanam, menggembala, atau mengambil hasil hutan. Sebagian di antara mereka bahkan diintimidasi agar tidak bersuara.

Bukti Lapangan: Replanting di Kawasan Hutan Lindung
Temuan lapangan menunjukkan adanya aktivitas replanting (penanaman ulang) di kawasan hutan lindung (HL) dan area penggunaan lain (APL). Kegiatan itu dilakukan menggunakan alat berat jenis eskavator PC 400. Jalur baru dibuka, tanah ulayat dibongkar, dan pepohonan sisa ditebang tanpa belas kasihan.
Menurut LP-K.P.K, Satgas Penegakan Hukum (PKH) sebenarnya sudah pernah menyita sekitar 861,7 hektare kawasan hutan lindung yang dirambah. Namun ironisnya, aktivitas perusahaan tetap berjalan, seolah tak tersentuh hukum.
“Inilah bukti nyata bahwa ada kekuatan besar yang melindungi mereka. Hukum seolah tumpul ke atas, tajam ke rakyat kecil,” tegas Eliasib.
Diamnya Aparat dan Pejabat: Ada Apa?
Rekan seperjuangan LP-K.P.K, Yogis Monoarfa, menilai bahwa diamnya aparat penegak hukum dan pejabat daerah menunjukkan adanya kemungkinan “permainan kotor” di balik meja kekuasaan.
“Kacau juga pikiran para pejabat dan APH di situ. Jangan-jangan ada para pejabat dan wakil rakyat yang ikut bermain,” ujar Yogis dalam percakapan internal.
“Para penjahat berdasi duduk manis di kursi empuk, sementara rakyat menjerit di tanah yang seharusnya milik mereka.”
Yogis menegaskan, jika suara rakyat terus diabaikan, maka demonstrasi besar-besaran akan menjadi jalan terakhir untuk mengguncang kesadaran publik dan menuntut keadilan.
“Diamnya rakyat adalah bentuk penghianatan terhadap demokrasi,” tegasnya lagi.
LP-K.P.K Sulbar Eliasib: Kami Tidak Akan Diam!
LP-K.P.K Sulbar menyatakan akan melanjutkan investigasi, menyusun laporan resmi, dan menuntut keadilan ke tingkat pusat. Eliasib memastikan bahwa perjuangan ini bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi demi kedaulatan rakyat dan kelestarian alam.
“Kami siap menghadapi siapa pun yang menghalangi perjuangan ini. Selangkah pun kami tidak akan mundur. Negara harus hadir menegakkan keadilan bagi rakyat,” tutup Eliasib dengan lantang.
“Ketika hukum tak lagi berpihak pada rakyat, suara kebenaran harus mengguncang dunia.”
Smber : 📰 PengawalKebijakan.id

